Sabtu, 18 Juni 2011

BERKAITAN DENGAN AKHWAT

BERKAITAN DENGAN AKHWAT

Sebagian ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup, dalilnya antara lain :
"Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu." (QS Al Ahzab 33).
"Wanita itu adalah aurat jika mereka keluar syaithan akan menghiasinya." (Dishahihkan Syaikh Albani dalam Shahih At Tarmidzi 1173 (Ibnu Khuzaimah 3/95, Ath Thabrani 10115) dan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad 2/36).
Dan makna syaithan menghiasinya yaitu "pada pandangan laki-laki."
Firman Alloh : "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Ahzab : 59). Berkata As Syuyuthi rahimahullah : "Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita." (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal 51 karya Asy Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahulloh).
Isteri Nabi yang mulia dan Aisyah ra dan para para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan Aisyah ra berikut : "Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasululloh. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang diantara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah (dalam rangka berihram)." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Sebagian ulama yang membolehkan, dalilnya antara lain :
"Wahai Asma, sesungguhnya wanita itu jika sudah usia haidh/menstruasi maka tidak pantas untuk terlihat kecuali ini dan ini-beliau mengisyaratkan kepada wajah dan telapak tangan (HR Abu Daud 4104). Dan ini adalah dalil yang paling tegas dari pendapat ini tetapi sanadnya sangat lemah.
(Dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah jilid 3 hal. 29-30, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dari Majalah Salafy Edisi 07/Thn 05) dan sumber lainnya).

Syaikh Ubaid Al Jabiri diberi pertanyaan : Apakah boleh melihat foto wanita sebelum dinikahi ? Beliau menjawab : "Foto hukumnya haram. Gambar makhluk yang bernyawa diharamkan. Apa yang terjadi pada kaum muslimin hari ini di mana calon pengantin yang laki-laki dan yang perempuan saling tukaran foto satu sama lain merupakan taqlid buta terhadap kebudayaan barat.
Jadi hendaknya dia melihat calonnya langsung melalui wali sang perempuan-jika dia ingin melamar akhwat tersebut. Hanya melalui tata cara inilah bisa melihat sang wanita dan sebaliknya. Na'am.
(Diterjemahkan untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd=ID=187).

Apakah hukumnya kita melihat televisi cuma sekedar melihat berita saja ? Jawab Syaikh Muqbil : "Tidak boleh dikarenakan ada gambarnya, dan dikarenakan pula terjadi di dalamnya dari perbuatan kejahatan dan perbuatan fasik (seperti zina dan pornografi), dan di dalamnya mengajari orang untuk mencuri (banyak tayangan televisi yang menampilkan cara bermaksiat kepada ALLOH, pacaran, zina, peragaan TKP, dst, red), dan Nabi bersabda : "Malaikat tidak akan memasuki suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (yang bernyawa)."
"Sesunggungguhnya orang yang paling pedih siksanya di Hari Akhir, yang menggambar ini (gambar yang bernyawa)." Begitu pula seorang laki-laki menonton seorang penyiar wanita, dan Alloh berfirman ; "Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yahg beriman hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci bagi mereka." (QS. An Nur : 30).
Atau kalau penyiarnya laki-laki dan yang menonton wanita, Alloh berfirman : "Katakalan kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya."(QS. An Nur : 31).
Lihat Kitab "Tuhfatul Mujib" Pertanyaan dari negara Perancis (soal nomor 10 / halaman 270).

Siapa saja yang diperbolehkan tayammum ? Yaitu :
1. Seorang yang junub lagi musafir dan tidak mendapatkan air.
2. Bagi seorang junub apabila khawatir udara dingin.
3. Seorang dalam keadaan sakit tidak mampu mempergunakan air, yaitu sakit yang dengan penggunaan air akan dikhawatirkan mendatangkan kebinasaan pada dirinya, anggota tubuhnya, mendatangkan penyakit yang membahayakan jiwanya; atau akan memperlambat kesembuhannya atau menambah parah sakitnya, maka pada keadaan sakit penyakit ini diperbolehkan tayammum dan tidak perlu mengulangi sholat. (Ini pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Daud dan sebagian besar ulama).
4. Musafir yang memiliki sedikit air dan khawatir kehausan dalam perjalanannya.
5. Seorang junub lagi musafir yang tidak mendapatkan air kecuali yang hanya cukup dipergunakan untuk berwudhu'.
(http://al_atsariyyah.com/hukum_hukum_seputar_tayammum.html oleh Abu Muawiyyah).

Dilarang melakukan jima' dengan wanita yang sudah bersih dari haid akan tetapi dia belum mandi bersih.
Berdasarkan QS. Al Baqaroh 222 "Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Alloh kepada kalian." Maka Alloh memperbolehkan jima' dengan wanita dengan syarat mereka telah bersuci, bukan sekedar berhentinya haid.
(http://al_atsariyyah.com/antara_haid_dan_lelaki.html oleh Abu Muawiyyah).

Mengenai hukum bermesraan dengan wanita yang haid, ada dua keadaan :
1. Jika bermesraannya di atas pusar dan atau dibawah lutut maka ulama sepakat akan bolehnya.
2. Bermesraan pada bagian antara lutut dan pusar (kecuali pada kemaluan dan dubur), maka yang paling tepat mazhab Al Malikiah, As Syafiiah, dan Imam Ahmad, mereka menyatakan bolehnya melakukan apa saja dengan wanita haid kecuali jima'. dengan syarat kedua kemaluan tidak bertemu.
Walaupun hal ini diperbolehkan, akan tetapi bagi yang mengkhawatirkan dirinya bisa terjatuh melakukan jima' atau perkara haram lainnya (seperti mendatangi dubur), maka hendaknya dia tidak bermesraan dengan isterinya di masa haid. Ini berdasarkan isyarat dari ucapan Aisyah ra. "hanya saja, siapakah diantara kalian mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullohu shallallahu 'alaihi wassalam menahan." (HR Bukhori 302)

Tidak boleh menggabungkan antara mandi junub dengan mandi haid, karena kedua jenis mandi ini telah tegak dalil yang menerangkan wajibnya untuk mengerjakan masing-masing darinya secara tersendiri, karenanya tidak boleh disatukan pada satu mandi.
Lihat pembahasan masalah ini dalam Tamamul Minnah hal 126, Al Muhalla (2/42-47).
Adapun mandi junub dengan jum'at boleh digabungkan berdasarkan hadits Aisyah secara marfu'; "Barangsiapa yang mandi pada hari Jum'at maka hendaknya dia mandi dengan cara mandi junub." (HR Ahmad).

Bercengkerama, berciuman, saling menyentuh dan semisalnya tergolong perbuatan zina, yang akan mengantarkan kepada perbuatan lebih besar.
Oleh karena itu kita harus berlepas diri dari segala sesuatu yang mengakibatkan zina hati dan zina-zina lainnya yang akan mengantarkan kepada perbuatan yang lebih besar...
Kita harus takut dikeluarkan dari golongan Nabi, sesuai sabda Nabi : "Bukan dari golongan kami orang yang merusakkan hubungan seorang wanita dengan suaminya."
Bahwa berbicara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram pada dasarnya tidak dilarang apabila pembicaraan itu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh syara'. Seperti pembicaraan yang mengandung kebaikan, menjaga adab-adab kesopanan, tidak menyebabkan fitnah dan tidak berkhalwat. Dalam sejarah kita lihat bahwa isteri-isteri Nabi berbicara dengan para sahabat, ketika menjawab pertanyaan yang mereka ajukan tentang hukum agama.
Akan tetapi, perempuan berbicara kepada laki-laki yang bukan mahram harus ekstra hati-hati jangan sampai (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam hati sebagaimana Imam Qurtubi menafsirkan kata alkhudu' (tunduk) dalam QS Al Ahzab : 32 dengan arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam hati.
Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan bahwa yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan farji (kemaluan).
Beliau bersabda :
(أكثر ما يدخل الناس النار الفم والفرج) رواه الترمذي وابن حبان في صحيحه
"Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan." (H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)

Maka pantaslah kalau tentang hal ini Imam Ahmad mengatakan: "Aku tidak tahu ada dosa yang lebih besar setelah membunuh jiwa dari pada zina,”
Dan Ibnu Mas'ud berkata : "Tidaklah muncul riba dan zina pada suatu daerah kecuali Allah akan mengizinkan kehancurannya."

Maka jelaslah masalah buruknya zina, Allah mengatakan bahwa zina adalah perbuatan keji dan jalan yang sangat buruk, Rasulullah bersabda bahwa zina adalah dosa besar yang banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka, demikian pula para Ulama. Sedangkan akal sehat dan fitrah bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri...

Bagaimana jika istri kita sendiri yang dizinai...?
Atau Ibu kita? atau anak perempuan kita? Atau kakak dan adik perempuan kita?

Demikianlah cara berfikir yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. ketika datang kepadanya seorang pemuda dan berkata:
"Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Izinkanlah aku untuk berzina !"
Maka para sahabat segera melarangnya dengan marah.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. bersabda : "Mendekatlah !" Maka dia mendekat kepadanya. Kemudian bersabda: "Duduklah!" Maka dia duduk. Kemudian Beliau bersabda: "Sukakah kalau itu terjadi pada ibumu ?"
Dia menjawab : "Tidak. Demi Allah, aku sebagai jaminan untukmu."
Beliau bersabda : "Demikian pula manusia seluruhnya tidak suka zina itu terjadi pada ibu-ibu mereka."
Kemudian Beliau bertanya lagi : "Sukakah kalau itu terjadi pada anak perempuanmu?"
Dan pemuda itu menjawab seperti tadi.
Demikianlah selanjutnya Beliau bertanya jika itu terjadi pada saudara perempuannya, bibinya dst. Atau sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya.

Azab yang paling ringan di Neraka (dinisbatkan azab untuk diterima Abu Thalib paman Rasululloh) yaitu diletakkan biji api neraka di kedua telapak kaki maka mendidihlah isi otak si penghuni neraka.
Bisa kita bayangkan, masyaAlloh...

"Perkara yang membantu kesabaran, yaitu mengenal tentang dirinya sebagai hamba Alloh. Manusia diciptakan dari sesuatu yang tidak ada, lalu dititipkan nikmat oleh Alloh, sebab itu kalau ada sesuatu musibah mengurangi atau menghabiskan sesuatu yang ada pada dirinya, maka berarti Alloh mengambil milikNya. Maka tidak pantas orang yang dititipi marah apabila dikurangi atau diambil kembali oleh yang punya, yaitu Alloh Subhanahu wa ta'ala.
Contohnya ; kesabaran Ummu Sulaim isteri Abu Tholha ketika anaknya meninggal dunia."

Perkataan Empat (4) Imam Madzhab Dalam Mengikuti Sunnah

Perkataan Empat (4) Imam Madzhab Dalam Mengikuti Sunnah

Perkataan Empat (4) Imam Madzhab Dalam Mengikuti Sunnah

Oleh : Al-Imam Al-Muhadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah-


Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS. Al-Araf :3)

I. ABU HANIFAH
Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya.
1. "Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku." (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63)
2. "Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145)
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku".
4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari".
5. "Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)

II. MALIK BIN ANAS
Imam Malik berkata:
1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah". (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32)
2. "Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3. Ibnu Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada
kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)

III. ASY-SYAFII
Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya:
1. "Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
2. "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68)
3. "Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1)
4. "Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57)
5. "kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1)
6. "Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1)
7. "Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab)
8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2)

IV. AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata:
1. "Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302)
2. "Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149)
3. "Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat
dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan
dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah."
Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada Hadis dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua Hadis yang sahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi mazhab mereka dan keluar dari kaedah mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan HadisHadis yang sahih kerana dipandang menyalahi pendapat mereka.
Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah berfirman.
"Demi Tuhanmu, mereka itu tidak dikatakanberiman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati". [AnNisa':65]
Allah juga berfirman.
"Orangorang yang menyalahi perintahnya hendaklah takut fitnah akan menerima mereka atau azab yang pedih akan menimpa mereka". [AnNur:63]
Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata: "Kewajiban orang yang telah menerima dan
mengetahui perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang
pendapat mereka itu salah. Oleh kerana itulah, para sahabat dan para tabi'in selalu menolak pendapat yang menyalahi Hadis yang sahih dengan penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan kerana benci, tetapi kerana rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh di atas
makhluk lainnya. Bila perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah. Bahkan orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasuluallah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya,
ketika ia mendapati bahawa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya.
Komentar AlAlbani:
Bagaimana mereka (para imam) membenci sikap semacam itu, padahal mereka sendiri
menyuruh para pengikutnya untuk berbuat begitu, seperti yang telah disebut keterangannya di atas. Mereka mewajibkan para pengikutnya untuk meninggalkan
pendapat-pendapat mereka, bila bertentangan dengan Hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan Imam Syafie menyuruh para muridnya untuk mengatasnamakan
dirinya terhadap setiap Hadis yang sahih, sekalipun beliau tidak meriwayatkannya, atau bahkan pendapatnya bertentangan dengan Hadis itu. Oleh kerana itu, Ibnu Daqiq Al'Id
mengumpulkan berbagai Hadis yang dikategorikan bertentangan dengan pendapat dari salah satu atau seluruh imam yang empat, dalam sebuah buku besar. Beliau mengatakan pada pendahulunya:
"Mengatasnamakan para imam mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan Hadis sahih adalah haram".
Para ahli fiqih yang taqlid kepada mereka wajib mengetahui bahawa tidak boleh mengatasnamakan masalah itu kepada mereka sehingga berdusta atas nama mereka.

(Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).

10 Nasehat Ibnu Qayyim agar Sabar Menjauhi Maksiat



Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:
Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.
Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…
Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu……………
Apabila engkau berlimpah nikmat
maka jagalah, karena maksiat
akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.
Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.
Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…
Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.
Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.